ADVERTISMENT

img
Info

Kayu Besi Borneo "Ulin" yang Semakin Terancam Kepunahan

Kayu Besi Borneo "Ulin" yang Semakin Terancam Kepunahan
Artikel ditulis olehWisnu Saputro

Ulin atau Eusideroxylon zwageri T &B juga dikenal dengan nama belian dan kayu besi borneo (Borneo iron wood) termasuk salah satu jenis pohon asli (Indigeneous tree species) pulau Kalimantan.

Saat ini baik populasi maupun penyebarannya menurun secara signifikan sejak tiga dekade belakangan ini. Kemungkinan saat ini hanya dapat ditemui di taman nasional, hutan lindung, kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK), hutan penelitian dan hutan produksi terbatas yang berada di daerah hulu yang sulit dijangkau.

Ulin mempunyai banyak keunggulan diantaranya

  1. kayunya sangat kuat dan sangat awet, digolongkan Kelas Kuat 1 dan Kelas Awet 1
  2. Memiliki kemampuan bertunas (coppice) yang sangat baik, di mana meskipun pohon sudah tua bila ditebang atau roboh akan bertunas kembali sepanjang akarnya tidak rusak
  3. Mempunyai umur yang sangat panjang mencapai ratusan tahun karena pertumbuhannya yang lambat
  4. Bijinya dapat menghasilkan lebih dari satu bibit bila dilakukan pemotongan biji
  5. Pohon ulin yang telah dewasa tahan terhadap kebakaran karena kerapatan kayu yang tinggi, mempunyai kulit yang tebal dengan lapisan corkyang berlapis-lapis
  6. Relatif mudah dalam pengadaan bibit yaitu dari biji, cabutan, putaran dan stek pucuk.

Semakin sulitnya memperoleh kayu ulin disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya penebangan pohon ulin yang kurang memperhatikan kelestariannya di mana pohon yang berdiameter kurang dari 50 cm telah ditebang, konversi hutan menjadi perkebunan dan non hutan di mana pohon ulin yang tumbuh bersama jenis pohon dipterocarpa juga turut ditebang, kebakaran hutan, terbukanya akses jalan ke daerah pedalaman sejalan dengan kegiatan Ijin Usaha Pengusahaan Hasil Hutan (IUPHHK) yang berakibat semakin banyaknya pohon ulin yang ditebang di mana harga kayu ulin yang tinggi karena permintaan yang cukup tinggi dan belakangan ini kayu ulin di ekspor ke China untuk flooring.

Sebagai jenis kayu asli pulau Kalimantan dan mempunyai kaitan yang erat dengan masyarakat terutama suku asli Kalimantan baik secara budaya, religi dan ekonomi maka pelestarian jenis pohon ulin sangat penting untuk dilaksanakan.

Berbagai upaya seperti konservasi in-situ, konservasi ek-situ, penanaman pada habitat HTI, proyek Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) dan penanaman oleh masyarakat serta para pihak yang peduli terhadap kelestarian ulin perlu dilakukan.

Populasi ulin di Pulau Kalimantan saat ini menurun secara drastis dibandingkan dengan keadaan pada awal 1970-an. Potensi pohon ulin di hutan alam per hektar bervariasi antara 9,17-54 pohon.

Penebangan kayu ulin untuk bahan bangunan seperti balok, sirap (genteng dari kayu ulin), papan, turap dan ukiran telah menyebabkan penebangan yang tidak terkendali.

Disamping itu harga kayu ulin yang tinggi terutama sirap dan ekspor bahan flooring telah mengakibatkan menurunnya hutan alam ulin. Effendi et al. (2004) telah melaksanakan survei hutan alam ulin di provinsi Kalimantan Timur. Hampir semua kabupaten di provinsi ini masih memiliki hutan alam ulin dalam luasan yang tidak terlalu besar.

Hutan alam ulin terdapat antara lain di Hutan Lindung sungai Wain (Kota Balikpapan), KHDTK Samboja (Kabupaten Kutai Kertanegara), Taman Nasional Kutai (Kabupaten Kutai Timur), Hutan Lindung Gunung Lumut (Kabupaten Paser), Petak Ukur Permanen CIFOR Seturun dan Hutan Tanek Olen Setulang (Kabupaten Malinau) dan Hutan Penelitian Unmul (Kota Samarinda).

Pemanfaatan kayu ulin telah dilakukan ratusan tahun yang lalu oleh suku Dayak di pedalaman Kalimantan.

Atap dari kayu ulin disebut sirap dipakai untuk atap rumah adat seperti Betang di Kalimantan Tengah, selama ratusan tahun. Begitu pula tiang, kusen, lantai dan dinding rumah pada masa lampau menggunakan kayu ulin.

Kayu ulin yang sangat kuat dan sangat awet juga banyak digunakan untuk jembatan terutama di pedalaman, bangunan untuk pelabuhan/dramaga di pinggir sungai dan pantai, sebagai tiang listrik, tiang telepon, sebagai turap yang dipakai di tepi sungai, untuk pagar kebun dan pekarangan rumah.

Kayu ulin juga digunakan untuk ukiran, patung, ornament yang diletakkan didepan rumah adat atau bangunan kantor.

Di Hongkong dan Cina, kayu ulin dibuat sumpit. Di Kalimantan Tengah bangunan untuk menyimpan tulang belulang nenek moyang suku Dayak Kalimantan menggunakan kayu ulin disebabkan oleh kayunya yang tahan di tempat terbuka.

Kegunaan lain dari limbah ulin yang berasal dari tunggak digunakan sebagai turus atau panjatan untuk tanaman lada/merica. Turus tersebut berukuran panjang sekitar 2 m dengan diameter 15-20 cm.

Banyaknya keragaman pemanfaatan kayu ulin seperti diuraikan terdahulu menunjukkan betapa mayarakat pedalaman seperti suku dayak sangat membutuhkan kayu ulin.

Hutan alam ulin umumnya tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Namun belakangan ini baik luas maupun potensi hutan ulin menurun secara drastis. Lokasi yang dulunya terkenal sebagai penghasil kayu ulin antara lain di Kintap (Kalimantan Selatan) dan Sebulu (Kalimantan Timur) kini hanya tinggal kenangan.

Bahkan tunggul dan batang ulin yang tertinggal di hutan belakangan ini diambil oleh masyarakat untuk dijadikan balok atau papan dengan panjang satu meter yang nantinya digunakan untuk berbagai keperluan antara lain kusen jendela.

Permudaan alam ulin umumnya banyak terdapat di bawah pohon induk karena buahnya yang berat. Berbeda dengan jenis meranti yang dapat tumbuh jauh dari pohon induknya, karena buahnya yang bersayap, maka penyebarannya permudaan alam pohon ulin hanya di sekitar dan tidak jauh dari induknya.

Pada beberapa lokasi alam ulin terbatas karena buahnya yaitu bagian bakal tumbuh tunas dimakan oleh binatang (landak).

Pertumbuhan ulin yang sangat lambat mengakibatkan kurangnya minat perusahaan dan masyarakat untuk menanam ulin bila dibandingkan dengan sengon atau akasia, meskipun harga kayu ulin jauh lebih mahal dari kedua jenis terakhir.

Penebangan ulin yang berlebihan (over logging) dan kurang memperhatikan kelestariannya, banyak pohon ulin yang berdiameter kecil sudah ditebang seiring dengan tingginya permintaan akan kayu, telah menyebabkan berkurangnya luas dan potensi hutan ulin.

Kepedulian dunia akan kelestarian jenis pohon ulin ditunjukkan dengan memasukkan jenis ini pada CITES (Convention on International Trade of Endangered Species).

Saat ini status konservasi jenis ulin adalah Rawan (VU A1 c,d dan 2 c,d). Kategori tersebut menurut Red List Category IUCN 1994, VU A1c,d berarti berdasarkan hasil pengamatan dapat diduga, disimpulkan atau diperkirakan telah terjadi penurunan rata-rata populasi lebih dari 20 % selama lebih dari 10 tahun terakhir atau tiga generasi atau manapun di antara keduanya yang lebih lama, yang didasarkan pada penurunan wilayah keberadaan, daerah penyebaran dan/atau kualitas habitat dan tingkat eksploitasi potensial ataupun aktual, sedangkan Vu2c,d berarti diduga atau diperkirakan akan terjadi penurunan rata-rata populasi lebih dari 20% dalam sepuluh tahun ke depan atau tiga generasi atau manapun di antara keduanya yang lebih lama, yang didasarkan pada penurunan wilayah keberadaan, daerah penyebaran dan/atau kualitas habitat dan tingkat eksploitasi potensial dan aktual.

Bibit ulin dapat diperoleh dari permudaan alam melalui cabutan dan dari penyemaian biji. Anakan ulin banyak terdapat di bawah pohon induknya. Karena buah ulin relatif berat maka anakan ulin terdapat tidak jauh dari pohon induknya.

Menurut Effendi (2004) jumlah permudaan alam semai dalam setiap pohon bervariasi antara 4-144 semai di Samboja dan antara 17-161 semai di hutan lindung Gunung Meratus, keduanya di Kalimantan Timur.

Pembuatan bibit ulin dari cabutan dilakukan dengan mendongkel (bukan mencabut) anakan alam yang tingginya sekitar 30 cm dan diupayakan biji tidak lepas.

Selanjutnya cabutan beserta biji dan sedikit tanah dimasukkan ke dalam polibag berukuran 20cm x 20cm agar bijinya tidak lepas. Lalu dibawa ke persemaian. Pemeliharaan di persemaian meliputi penyiraman dan pemberian pestisida bila terdapat serangan hama dan penyakit.

Bibit siap tanam bila anakan ulin sudah tumbuh daun baru dan tinggi sekitar 50 cm. lamanya di persemaian 6-12 bulan tergantung kondisi bibit.Pengadaan bibit dengan biji lebih mudah, namun tidak selalu terdapat biji di alam.

Biji ulin dibuang kulit dengan cara dikupas atau dibiarkan beberapa minggu. Tempurung dilepaskan dengan cara dijemur pada terik matahari selama 1-2 hari. Bila tempurung retak maka tempurung tersebut dilepas, sehingga tinggal biji.

Biji selanjutnya disemaikan dengan cara meletakkan biji di polibag ukuran 20cm x 20cm yang telah diberi media tumbuh. Bibit siap tanam setelah mencapai tinggi 50-75 cm dan diperlukan waktu 8-12 bulan untuk memproduksi bibit siap tanam.

Bibit ulin juga dapat diperoleh dengan sistem puteran. Caranya dengan menggali/memutar anakan alam dengan radius 10 cm dari batang sedalam 20 cm menggunakan linggis atau parang.

Cabutan beserta tanah dan biji selanjutnya dimasukkan dalam polibag berukuran 20cm x 25 cm. Puteran dipelihara di persemaian. Pengadaan bibit ulin juga dapat dilakukan dengan stek pucuk namun persentase keberhasilan rendah.

Penanaman ulin umumnya dilakukan dalam sistem jalur. Penanaman dilakukan pada hutan sekunder yang masih terdapat naungan. Menurut Masano dan Omon (1983) ulin termasuk jenis setengah toleran yang pada umur muda memerlukan naungan.

Jarak tanam yang digunakan bervariasi 5m x 5m atau 5m x 10mm. Sebaiknya ulin ditanam pada hutan tanaman campuran bersama dengan jenis lain seperti meranti, kapur, keruing dan medang sesuai habitat aslinya.

Penanaman ulin dalam rangka konservasi ex-situ dilakukan di KHDTK Samboja seluas 10 ha yang merupakan kerjasama antara Balai Litbang Kehutanan Kalimantan dan PT Kelian Equatorial Mining Balikpapan.

Bagi komunitas masyarakat suku Dayak di Paser (Kalimantan Timur) menanam pohon ulin merupakan bagian dari kehidupan yang tidak terpisahkan ditinjau dari segi sosial, budaya, hukum adat dan religi.

Kayu ulin juga digunakan sebagai perlengkapan upacara ritual pada masyarakat. Karena itu penanaman kayu ulin merupakan kewajiban bagi masyarakat (Wirasapoetra, 2006). Kesadaran menanam pohon ulin juga telah ditunjukkan oleh suku Dayak Kenyah di Desa Setulang, Malinau (Kalimantan Utara).

Komentar

Yuk, ngobrol dan sharing pendapat dengan juragan lainnya.

Artikel Terkait

ADVERTISMENT

img

AnekaUKM - One-stop Solution for SMEs

Copyright © 2024 AnekaUKM. All rights reserved.